Kata tarjih digunakan para ahli ushul fiqih dalam kaitan ber-ta’amul dengan dalil-dalil fiqih. Khususnya ketika terjadi ta’arudh atau pertentangan dari beberapa dalil secara dzahir. Meski secara asli, dalil yang sama sumbernya dari wahyu yang shahih, tak mungkin saling bertentangan satu sama lain, karena sumbernya satu.
Maka, tarjih adalah salah satu metode daf’u ta’arudh al-adillah; mengkompromikan dalil-dalil syariat yang secara dzahir bertentangan.
Sebagaimana disebutkan oleh al-Amidi (w. 631 H):
فإن الترجيح إنما يطلب عند التعارض لا مع عدمه (الإحكام في أصول الأحكام، أبو الحسن سيد الدين علي بن أبي علي بن محمد بن سالم الثعلبي الآمدي (المتوفى: 631هـ) ،4/ 239)
Tarjih itu dibutuhkan ketika terjadi pertentangan antar dalil. Ketika tak ada pertentangan ya tak perlu tarjih.
(al-Amidi w. 631 H, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, h. 4/ 239)
Dalam memahami teks syariat yang bertentangan secara dzahir, pertama yang ditempuh adalah al-jam’u wa at-taufiq; dikumpulkan dan dipakai semua jika bisa. Jika tidak mungkin dipakai semua dalil itu, dan diketahui urutan waktu pensyariatannya, maka dipakailah metode an-naskhu; diganti hukumnya. Jika tak memungkinkan, baru ditempuh dengan jalan tarjih, itu pun metodenya sangat beragam.
(Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Mukaddimah Syarah Shahih Muslim, h. 1/ 35).